Korupsi merupakan sumber kehancuran terbesar masyarakat
saat ini
(Olusegun
Obasanjo)
Yang menumbuhkan kejahatan korupsi seringkali adalah
ketidakpedulian kita sendiri
(Bess
Myerson)
Korupsi ibarat virus yang telah menggerogoti
tubuh negeri ini. Tidak ada sedikit pun bagian dari tubuh negeri ini
yang bebas dari aksi virus yang berbahaya ini. Mulai dari kaki, tangan, sampai
dengan kepala, dan semua bagian tubuh ini telah terkena virus berbahaya ini.
Perilaku korupsi tidak hanya dilakukan oleh para pencuri tingkat tinggi, tetapi
telah menyebar ke para pencuri tingkat awam. Sebagai contoh pemulung berani
mencuri kotak sampah di kawasan perumahan yang dijaga oleh seorang satpam.
Pencuri lain pun telah mencuri besi pembatas jalan raya. Virus korupi telah
menyebar ke kelompok masyarakat apa dan mana pun juga. Oleh karena itu, sekali
ditemukan virusnya di satu tempat, tempat yang lain pun telah terkena pula.
Wajah-wajah virus itu pun tidak sedikitpun yang merasa menyesali perbuatannya.
Sekian banyak virus yang dapat dideteksi, virus-virus yang lain muncul lagi,
dan tidak kalah ganasnya.
Marilah kita bayangkan. Empat puluh mobil
berhasil disita oleh KPK. Berapa banyak uang telah dibagi-bagikan oleh siapa
dan kepada siapa. Berapa banyak uang untuk membeli rumah yang kemudian disita,
dan berapa lagi untuk befoya-foya dengan narkoba, dan masih banyak lagi. Tiga
puluh lima juta dibagi-bagi untuk THR wakil-wakil rakyat. Kalau ini benar,
berapa uang rakyat telah ditebar di mana-mana? Pengguna dan pemanfaat uang
recehannya pun diancam akan diberi sangsi. Entah apakah semuanya itu akan
menjadi alat ampuh untuk memberantas korupsi. Tidak seorang pun yang tahu
pasti.
Sehubungan dengan kasus-kasus tersebut, ada
beberapa pihak yang meragukan kehebatan dan kinerja KPK. Malah ada upaya
sistematis untuk menggembosinya. Bahkan ada pula pihak yang berfikir, apakah
ongkos yang dikeluarkan untuk pemberantasan korupsi “seimbang” dengan
hasil yang dicapai, khususnya jumlah hasil sitaan yang masuk ke kas negara. Ada
juga berita tentang pengumpul uang denda yang telah ditahan oleh KPK. Jadi
selama ini uang denda itu tidak masuk ke kas negara, tetapi telah masuk ke
kantong petugasnya, yang telah menyimpan dengan bunga-bunganya.
Itulah kegalauan yang kini terjadi di
kalangan masyarakat awan tentang masalah korupsi di negeri ini dan upaya untuk
memberantasnya. Sampai di sinikah proses itu berhenti? Tidak tahu entah upaya
apa saja lagi yang harus dilaksanakan. Ada juga kelompok masyarakat yang
mempunyai gagasan agar KPK membuat laporan pertanggungjawaban secara transparan
kepada rakyat, berapa dana yang telah digunakan untuk memberantas korupsi dan
berapa banyak uang rakyat yang telah berhasil diselamatkan. Untuk membuat
citranya yang bersih selama ini, cobalah kita daftar berapa orang yang telah
ditetapkkan sebagai koruptor, berapa banyak uang negara dan barang-barang yang
dihasilkannya telah kembali ke kas negara. Mari kita evaluasi secara transparan
demi akuntabelitas publik, karena sejatinya rakyatlah yang sejatinya memiliki
harta yang telah digarong itu.
Kuratif versus preventif
Atau ada baiknya jika kita bisa mengevaluasi
cara-cara yang telah ditempuh untuk memecahkan masalah korupsi selama ini.
Mungkinkah konsep yang telah kita gunakan selama ini sesungguhnya kurang manjur
dibandingkan konsep yang lain? Jika cara-cara yang telah dilaksanakan di negeri
ini telah dilakukan secara kuratif, yang diberantas setelah terjadi korupsi,
maka KPK pun sudah kewalahan untuk menyimpan hasil sitaan. Saking mirisnya,
seorang teman berkata, kenapa barang sitaan itu tidak dilelang saja, ketimbang
harus rusak dimakan karat atau hilang dimakan waktu? KPK dibentuk bukan hanya
untuk menangkap koruptornya, melainkan juga untuk menyimpan hasil sitaannya.
Sungguh berat tugasnya. Apakah karena tugas yang berat itu, perannya kabarnya
juga akan digembosi?
Marilah kita bertanya, apakah dengan KPK,
kita yakin bahwa negeri ini akan bersih dari perilaku korupsi? Tentu tidak
bersih sama sekali. Tetapi tidak sebanyak saat ini. Karena Tuhan telah
menakdirkan korupsi untuk menjadi ladang amal bagi petugas yang memberantas
korupsi. Dapat pahala karena untuk mengajak warga masyarakat tidak lagi
korupsi, setidaknya tidak banyak warga yang masuk neraka. Jadi logikanya
lembaga ini tidak perlu dibentuk jika negeri tercinta ini bersih dari korupsi.
Mungkin konsepnya jangan kuratif, yang kegiatannya seperti membiarkan orang
melakukan korupsi, lalu kita berusaha untuk mengintainya, dan kemudian
memberantasnya. Silahkan korupsi sebanyak-banyaknya, sampai tujuh turunan
sekali pun, nanti akan kita berantas habis-habisan. Nah kemudian kita membuat
lembaga yang akan bertugas untuk tersangka, yang lain menjadi saksi. Yang
tersangka masuk bui, yang menjadi saksi menjadi tersangka dan masuklah sel
tahanan. Proses itu terus berlangsung sebagai siklus tanpa henti di negeri ini.
Dengan cara kuratif sebenarnya kita telah membiarkan orang punya kesempatan
untuk ketagihan korupsi untuk beramai-ramai melakukannya, dan ditangkap oleh
intel-intel yang mengintip di waktu-waktu senja, untuk memaksa mereka masuk
prodeo, dan mengambil bukti-bukti perbuatannya, serta menyita barang-barang
bukti di mana-mana. Padahal, faktor penyebab korupsi lebih merupakan daktor
budaya yang lama diamalkan di negeri kita. Jika demikian halnya, keberhasilan
dalam pemecahan masalah korupsi baru akan kita ketahui dalam waktu satu
generasi lagi. Ohh lamanya?
Kalau demikian halnya, mengapa kita harus
mengubah haluan, dari kuratif ke preventif. Seperti di negeri jiran yang telah
membuat Badan Pencegah Rasuah (BPR). Memang, kita belum tahu sepenuhnya apa
kiat yang telah mereka lakukan, dan apa hasil yang telah mereka peroleh. Yang
pasti, di negeri sendiri tentang korupsi jauh lebih banyak ketimbang di negeri
jiran tersebut.
Lalu, langkah apa yang bisa dilakukan untuk
mencegahnya? Marilah cara-cara itu dapat kita kaji bersama-sama lima langkah
preventif untuk memecahkan masalah korupsi di negeri ini. Siapa tahu cara ini
lebih mujarab dari cara yang sudah kita coba sebelumnya. Yang penting tidak
putas asa. Marilah kita kaji lima langkah preventif ini. Selalu ada jalan, kata
Bapak Presiden dua periode kita.
Pertama, pilihkan pemimpin yang amanah. Langkah seperti ini memang bersifat moralis dan
filosofis. Tidak mengapa. Implementasinya dengan lelang jabatan. Walaupun
namanya saya tidak setuju, tetapi hakikatnya boleh juga jika proses itu harus
melalui seleksi secara transparan, tanpa gratifikasi. Tanpa sogok sana dan
sogok sini, dan yang lebih penting lagi dilaksanakan secara transparan,
terutama tentang syarat dan kriteria, serta hasil seleksi tersebut. Persyaratan
dan kriterianya harus transparan, dan hasil penilaiannya diumumkan secara
terbuka.
Kalau lelang jabatan itu akhirnya juga dengan
tujuan untuk memperbesar sogok-menyogok, nah itu yang namanya juga korupsi.
Lelang jabatan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Lagi-lagi
masyarakat harus ikut mengawasi agar akubtabilitasnya dapat dilaksanakan secara
terbuka. Jangan ada main tunjuk tanpa melihat kompetensi. Akhirnya melahirkan
balas budi, yang ujung-ujungnya gratifikasi dan korupsi lagi. Kuncinya
demokratis, transparan, dan akuntabel.
Kedua, optimalkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara). Mekanisme ini sebenarnya sudah
dilaksanakan di negeri ini. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan) belum dapat berjalan cepat, masih “jalan thimik-thimik”. Sebagai
contoh, hingga saat ini PPATK masih menunggu pelaporan rekening para caleg,
karena masih harus menunggu laporan melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pelaporan ini berdasarkan kesepakatan antara PPATK dan KPU untuk menjaga pemilu
bersih dari transaksi-transaksi gelap yang digunakan untuk dana kampanye.
Apalagi laporan ini kan memang sifatnya sukarela yang mau melaporkan
rekeningnya, baik parpol maupun caleg. Ya kami imbau untuk lapor, masih
ditunggu yang mau lapor. Jadi ya menunggu dan menunggu, ujar Wakil Ketua
(PPATK) Agus Santoso. Sanksi laporan itu pun hanya berupa sanksi moral,
meskipun PPATK akan mengumumkan para caleg yang tidak melaporkan rekeningnya,
sampai sang caleg terpilih oleh banyak pemilih yang tidak tahu bahwa caleg
pilihannya adalah caleg yang sebenarnya tidak jujur. Ya, sudah telanjur, nasi
sudah jadi bubur.
Optimalisasi LHKPN melalui PPATK sangat
strategis, dan bersifat preventif. Jika berdasarkan laporan tersebut harta
penyelenggara negara sudah melebihi angka normal, maka LHKPN tersebut sudah
harus diumumkan dan ditindaklanjuti dari mana uang sebanyak itu. Jangan sampai
menunggu pejabat tersebut melakukan korupsi yang lebih besar lagi.
Selain LHKPN terus dilaksanakan untuk pejabat
negara, bagi masyarakat umum pun juga harus dilaksanakan dengan sistem
pembuktian terbalik. Di negeri jiran Malaysia, sebagai contoh, membeli mobil
harus secara kredit. Jika seseorang membeli mobil secara kontan, maka dia akan
ditanya tentang asal uang tersebut, jangan-jangan dari uang korupsi atau dari
rasuah. Tidak seperti di negeri sendiri, membeli empat puluh mobil sama sekali
tidak ditanyakan apa-apa. Perilaku korupsi itu baru diketahui telah pelaku
tertangkap dan diketemukan dengan banyak bukti, seperti diketahui ternyata
memiliki lima puluh mobil mewah.
Ketiga, gerakan
nasional transparansi. Ini sebenarnya sama dengan konsep yang diajukan
oleh Anis Baswedan. Rektor Universitas Paramadina, sekaligus sebagai calon
konvensi Partai Demokrat, mengatakan bahwa masyarakat sekarang ini hampir
semuanya memiliki HP. Dengan transparansi nasional, maka semua warga masyarakat
dengan bebas untuk dapat melakukan pengawasan dengan menggunakan HP-nya, dan
dengan HP-nya masyarakat dapat melaporkan kepada petugas pengawasan, petugas
hukum, termasuk KPK. Kita berharap agar gerakan nasional transparansi ini lebih
merupakan gerakan budaya yang dilaksanakan dalam jangka panjang. Bukan
sehari-dua hari, sebulan-dua bulan selesai. Bahkan dapat melalui proses
penyelenggaraan pendidikan, seperti dengan memberikan mata pelajaran atau mata
kuliah “pendidikan anti korupsi’ atau “pendidikan moral dan karakter”, “kantin
kejujuran”, “tidak menyontek”, dan sebagainya. Sebagai suatu sistem, gerakan
nasional ini, tidak akan berjalan secara sendirian, melainkan akan saling
pengaruh mempengaruhi, mulai dari keluarga, masyarakat, dan sudah tentu
pemerintah, untuk bersama-rama secara sinergis memecahkan masyalah korupsi di
negeri ini.
Keempat, mengumumkan anggaran secara terbuka. Untuk mendukung gerakan transparansi nasional tersebut,
setiap awal tahun anggaran, semua satuan kerja atau pengguna anggaran
berkewajiban untuk mengumumkan kepada masyarakat tentang program kegiatannya di
media massa, atau dipampang di papan pengumuman di depan kantor. Setiap kementerian,
setiap direktorat jenderal, direktorat, gubernur, kabupaten, walikota, dan
badan hukum milik negara, dan semua instansi pemerintahan harus mengumumkan
anggaran yang akan dilaksanakan oleh instansi yang bersangkutan. Dengan
tranparansi ini, masyarakat akan mengatahui uang rakyat tersebut digunakan
untuk apa saja, dan dengan cara apa (konraktual ataukah swakelola). Kalau di
satuan pendidikan sekolah, dalam rangka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) kepala
sekolah diminta untuk memajang RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Sekolah) di papan pengumuman sekolah, mengapa tidak di institusi yang lebih
tinggi, seperti kementerian dan institusi lain pengguna anggaran.
Jika pengumuman secara terbuka ini dapat
dilaksanakan, maka proses pengang-garan pun akan mudah ditelusuri tentang
liku-liku dari sumbernya mulai dari pemerintah, seperti Badan Perencanaan
Pembangunan, Kementerian Keuangan, dan pihak wakil-wakil rakyat di DPR. Proses
awal perencanaan anggaran ini merupakan proses penting yang harus dilaksanakan,
kembali secara demokratis, transparan, dan akuntabel juga.
Kelima, pelibatan komponen masyarakat dalam perencanaan. Bahkan sebelum RKAKL turun ke kementerian dan institusi
jajarannya, anggaran tersebut memang disusun oleh Pemerintah dan DPR atau yang
sering kita sebut sebagai Banggar, terkait dengan tahap perencanaan anggaran.
Proses penyusunan anggaran harus lebih terbuka lagi. Selain DPR, sebagai wakil
yakyat secara formal, perlu dilibatkan wakil rakyat secara informal, misalnya
organisasi massa yang ada di tingkat pusat sebagai mitra kementerian, seperti
Dewan Pendidikan Nasional (DPN) sebagai mitra Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Demikian juga komponen masyarakat sebagai mitra Kementerian lain.
Saya dengar selentingan, cara ini menjadi gagasan Bapak Kuntoro
Mangkusubroto saat ini.
Dalam hal ini, sebagai contoh, dalam Pasal 56
ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa: “Masyarakat berperan
dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah”.
Masyarakat
dapat melaksanakan perannya dalam perencanaan pendidikan, baik melalui wakil
rakyat dalam bidang politik (DPR dan DPRD), maupun representasi masyarakat
dalam bidang lain, seperti dalam bidang sosial, kesehatan, dan lain-lain.
Mekanisme pencegahan korupsi dalam sistem pemerintahan di negeri ini sudah
pasti telah dipikirkan oleh para penyelenggara negara secara matang. Namun,
pada umumnya implementasinya yang kurang dilaksanakan secara konsekuen dan
konsiten. Transparansi dalam proses perencanaan, pengawasan, dan evaluasi
programnya, seharusnya dapat dijabarkan secara lebih operasional lagi
Perilaku
Koruptif
Penegakan
sikap demokratis, transparan, dan akuntabel akan berhadapan dengan sikap dan
perilaku koruptif yang sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Bambang
Widjojanto, Wakil Ketua KPK, mengemukan keyakinannya bahwa “Salah satu sikap
dan perilaku koruptif yang menjadi tabiat dan karakter sebagai pejabat atau
penyelenggara negara adalah masih hidupnya budaya pangreh, sok kuasa” (Media
Indonesia, 24 Februari 2014).
Sejak
zaman bahauela, sejak zaman kerajaan tempo dulu, rakyat dipandang sebagai “abdi
dalem” yang tunduk dan patuh kepada “pangreh praja”. Memang, tidak semua
“pangreh praja” bersikap sok kuasa. Seharusnya keduanya, penguasa dan rakyat,
menyatu ibarat “manunggaling kawula lan gusti”, sehingga prinsip pemertintahan
yang demokratis, transparan, dan akuntabel dapat menghasilkan pemerintahan yang
bersih dari korupsi dan berwibawa.
Sebagai
kesimpulan, lima langkah tersebut bukan hanya sekedar pernyataan verbal, tetapi
harus dilaksanakan secara faktual. Langkah pemberantasan korupsi secara
kuratif, perlu terus ditingkatkan oleh KPK, sampai suatu saat nanti pemecahan
masalah korupsi dapat diubah dari upaya yang bersifat kuratif menjadi upaya
yang bersifat preventif, atau menyatukan kedua upaya tersebut. Secara
berangsur-angsur langkah kuratif akan dikurangi sejalan dengan semakin kuatnya
langkah-langkah preventif. Penggembosan KPK tidak diperlukan lagi, jika
langkah-langkah preventif lebih banyak dilakukan. Lima langkah preventif
tersebut perlu dikaji untuk disempurnakan. Pada saatnya nanti pemberantasan
korupsi di negeri ini mudah-mudahan dapat dilaksanakan secara preventif, bukan
kuratif seperti sekarang ini. Mengharapkan korupsi hilang seratus persen di
negeri ini memang tidak mungkin. Tetapi kita berharap mudah-mudahan negeri kaya
kaya raya, loh jinawi ini, tidak boleh menjadi sarang koruptor yang dapat
menggerogotinya bak virus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar